Opini  

Menagih Ketegasan Era Baru: Tarik Ulur Sengketa Lahan

Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
Sekretaris LBH Pusako

“…..terlepas tahu atau tidak pimpinan daerah, ada upaya “diam diam” mensertifikatkan lahan orang lain yang masih dalam sengketa…”

Masih ingat dengan sengketa perjanjian sewa menyewa antara Dewi Indah Djuita dengan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar yang saat ini dijabat oleh Pemerintahan Era Baru? Kalau lupa, silahkan segarkan kembali ingatan netizen dengan membuka link berikut:

  1. https://jurnalminang.com/pejabat-pemkab-tanah-datar-belum-punya-solusi-kuasa-hukum-siap-tempur/ tanggal 17 Januari 2022
  2. https://jurnalminang.com/kadis-dikbud-tanah-datar-tindaklanjuti-pengosongan-rumah-dinas-apa-konsekwensinya/ tanggal 20 Januari 2022.
  3. https://jurnalminang.com/pemkab-tanah-datar-dinilai-ingkar-janji-lahan-sewaan-pun-masih-dikuasai/ tanggal 11 Februari 2022.

Hingga rubrik ini ditayangkan masih belum diperoleh kejelasan dan ketegasan sikap dari Bupati Tanah Datar dan Sekretaris Daerah Kabupaten Tanah Datar perihal sengketa ini. Apakah Pemkab Tanah Datar jelas jelas menutup ruang musyawarah dan menyepakati menempuh jalur hukum? Agaknya jawaban resmi dari Pemkab (yang akan menjadi sebuah produk hukum) menjadi sesuatu yang tabu untuk dikeluarkan. Setidaknya patut diduga juga bahwa Pemkab TD sepertinya tidak menggubris sengketa ini seolah olah tidak ada masalah dan memberi isyarat “diamkan saja, nanti mereka akan capek sendiri”.

Sikap mendiamkan sesuatu itu biasanya diterapkan oleh penguasa yang arogan dan masa bodoh dengan rakyatnya atau oleh orang yang tidak sanggup memenuhi kewajibannya dan terkesan sengaja mengulur ulur waktu. Harapannya, eskalasi desakan untuk menyelesaikan sebuah masalah akan mereda dengan sendirinya. Tentu saja sikap tersebut sangat bertentangan dengan sikap melayani yang paripurna dan semangat yang tercantum dalam butir ke-3 Panca Prasetya Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri).

Kasus ini mulai mencuat sejak pertengahan tahun 2021 lalu. Bayangkan sampai saat ini (April 2022) Pemkab TD tidak berani mengambil sikap tegas apalagi sikap professional untuk segera menyelesaikan masalah ini dengan baik. Hal ini patut diduga karena pimpinan Era Baru tidak mengenal istilah menyelesaikan tugas / menyelesaikan masalah berpedoman pada tenggat waktu yang ditetapkan (Job accomplish based on deadline).

Menyelesaikan masalah kecil ini saja sampai berlarut larut, apalagi menangani hal hal besar. Hal ini mencerminkan kekurang-profesionalan aparatur terkait. Percuma saja di setiap kesempatan Bupati dan Wakil Bupati menyampaikan pesan penerapan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (good governance) jika pimpinan Era Baru sendiri sebagai “role model” tidak mencontohkan sama sekali. Ibarat pepatah: Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Baca Juga :  Ragam Ukiran Tradisional Minangkabau di Museum Istana Pagaruyung yang Menakjubkan

Lebih parah lagi, di saat terkesan mengulur ulur waktu tersebut, ternyata di pertengahan April 2022 ini ditemukan usaha dari tim Pemkab TD yang secara diam diam mencoba mengurus sertifikat atas lahan yang sedang bermasalah tersebut. Ambooiii… cantik nian mainnya, hehehe.

H. Eri Munafri, seorang tokoh masyarakat yang pernah turut membantu memfasilitasi dan mengantarkan Eka-Richi menduduki kursi Bupati dan Wakil Bupati, yang juga sebagai bagian dari keluarga besar Dewi Indah Djuita pun memberikan tanggapan yang jelas: ”Mendukung Eka-Richi adalah masa lalu. Ketidak-sanggupan mereka menyelesaikan persoalan ini hingga berlarut larut telah menunjukkan itikad kurang baik kepada kami. Dan itu cukup membuktikan bahwa Bupati berseberangan dengan kami, tidak peduli dan tidak tegas menentukan sikap sebagai pimpinan daerah”.

Kami mencoba lacak melalui Kasi Aset di BKD dan Kadis Pendidikan serta langsung ke Bupati Eka Putra, SE, MM sendiri, tidak satupun dari mereka yang yang berani memberikan klarifikasi tegas siapa aktor intelektual yang memerintahkan hal itu. Beginikah gambaran kerja dan profesionalisme pejabat Era Baru? Kalau betul begitu, alangkah kacaunya daerah ini!

Jika Bupati sendiri tidak mampu menentukan sikap, jadi siapa yang lebih berkuasa diatas Bupati? Atau jangan jangan … “Hehehe antah lah yuang, cukuik rabab se nan manyampaikan” ujar Wan Labai tersenyum simpul menyiratkan banyak arti. Adakah “shadow state” di atas bupati?

Coba bayangkan jika perilaku tersebut dialami oleh masyarakat Tanah Datar yang domisilinya jauh dari pusat pemerintahan. Tentu respon yang diterima dan dituai oleh pejabat Era Baru semakin negatif lagi.

“Cukup 1 periode saja berurusan dengan pemerintah ini, 2024 kita cerdaskan masyarakat agar jangan masuk ke lubang yang sama dua kali. “Rancak di Labuah sajo mah”, begitu kira kira ungkapan orang yang kecewa dengan prestasi dan pelayanan pemerintahan Era Baru ini.

Baca Juga :  Keharusan Transformasi Digital di Perumda Tuah Sepakat, Tanah Datar

Rasanya kurang elok kalau tulisan ini isinya kritik melulu seolah olah “mancukia Era Baru taruih”. (Setidaknya begitulah anggapan sebagian kecil pendukung Era Baru yang kurang cerdas dan kritis, hehehe). Baiklah, untuk itu perkenankan kami memberikan saran dan solusi (namun jangan dianggap menggurui Era Baru ya), tapi semata mata agar tulisan ini berimbang antara kritik dengan saran. Ini beberapa solusi:

  1. Bupati sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan sebaiknya menunjukkan sikap professional dengan cara memandang semua masalah sebagai tanggung jawab politis yang harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang jelas (deadline oriented). Dengan demikian, bawahanpun akan segera menindak-lanjuti sesuai waktu yang ditetapkan. Penilaian kinerja bawahanpun bisa diambil sebagai sebuah indikator kesuksesan berdasarkan tenggat waktu ini.
  2. Dengan membiasakan diri dan tim menetapkan target kerja berdasarkan waktu, maka akan menjadi ciri khas Era Baru yang bisa menjadikan Era Baru popular dan menjadi buah bibir masyarakat.
  3. Dengan membiasakan diri dan tim menetapkan target kerja berdasarkan waktu, maka secara otomatis akan meningkatkan kinerja dan “speed” kerja lebih baik. Sehingga kesan “Ditanyo dulu baru ka jalan alias bersikap pasif” akan berubah menjadi terciptanya aparatur aparatur yang aktif dan disiplin.
  4. Persoalan itu harus dihadapi dan diselesaikan. Menunda-nunda ataupun menghindar dari persoalan tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan membuat masalah itu semakin kompleks dan akan menyebabkan kehilangan simpati dan menurunkan elektabilitas Era Baru dimata publik.
  5. Dengan kebiasaan menghadapi masalah dan menyelesaikan tugas sesuai tenggat waktu, maka akan menciptakan aparatur yang berdisiplin tinggi, berdampak pada mobilitas / kinerja yang semakin baik, semakin akuntabel, semakin bertanggung jawab, dan semakin berkurang ketergantungan bawahan kepada atasan sehingga tidak akan ada lagi sikap “maaf, kami menunggu arahan atasan” hehehe.

Kalau Bupati sanggup melakukan perubahan performa ini, baru berani kami sebut sebuah prestasi karena Bupati mampu merubah image Tanah Datar dari sebutan Kota Mode, ka mode mode itu se nyo, hehehe.

Baca Juga :  Eka-Richi Bersabarlah Menjelang Pelantikan

Jika solusi ini dijalankan, maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut:

  1. Dengan kebiasaan menghadapi masalah dan menyelesaikan tugas sesuai tenggat waktu, maka produktivitas kerja akan semakin baik, kualitas dan kuantitas kerja pun akan semakin baik. Sehingga nantinya tidak perlu lagi Bupati sendiri yang turun ke lapangan atau pergi sendiri menemui pejabat lain seolah tidak ada pembantu Bupati / seolah Bupati tidak mampu mengelola bawahan sendiri.
  2. Bupati sebagai pimpinan (leader) cukup berperan sebagai pengawas atas kerja para bawahannya saja. Adakan meeting koordinasi setiap pagi (morning briefing) untuk mendengarkan progress kerja Kepala OPD pada hari sebelumnya dan apa rencana kerja hari ini serta sekaligus memberikan arahan atau teguran. Nah, kalau hal itu diterapkan, bakal enak kerja Bupati kan? Dan lebih efisien serta tidak menguras energi dan pikiran Bupati. Bukankah percuma saja punya bawahan banyak kalau Bupati sendiri tidak bisa memaksimalkan SDM bawahan sendiri.
  3. Dalam penyelesaian sengketa ini, panggil para bawahan terkait, perintahkan mereka berpendapat berbasis data / dokumen. Telaah dan dalami oleh Bupati apakah saran / kesimpulan bawahan tersebut sinkron dengan dokumen yag dimiliki Pemkab. Dengan demikian Bupati akan terhindar dari sikap “Asbun” dan sikap Asal Bapak Senang sehingga Bupati bisa menyimpulkan masalah dan menentukan sikap dengan tegas dan bijaksana kapan masalah itu bisa diselesaikan dengan tenggat waktu yang jelas.

Ada ungkapan, kalau pimpinan laksana seekor kambing, maka siap siap diterkam pengikut yang berwatak serigala.

Kesimpulan akhir, hadapilah sesuatu dengan sikap profesional. Seseorang tidak akan tersandung oleh batu besar, melainkan tergelincir oleh kerikil kecil.

Print Friendly, PDF & Email