Opini Oleh: Muhammad Intania, SH
(Advokat & Ketua LKPH MARAWA)
Baru selesai masyarakat Tanah Datar melewati masa penyembuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19, kini masyarakat Tanah Datar harus siap menerima “cobaan” baru dengan adanya kenaikan tarif Pajak dan Retribusi yang sudah disetujui oleh Pemkab Tanah Datar bersama DPRD Tanah Datar dalam Sidang Paripurna yang telah selesai dilaksanakan beberapa hari lalu. Angka kenaikan itu tak main main, disetujui (boleh) paling tinggi atau tidak lebih dari 50%. Artinya, kalau semua pajak dan retribusi di Tanah Datar dinaikkan 49 % setelah ini, maka sah menurut Perda. Tapi rakyat semakin terbungkuk.
Sidang Paripurna dengan agenda Pengambilan Keputusan DPRD Tanah Datar Terhadap Ranperda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) untuk dijadikan Peraturan Daerah telah selesai dilaksanakan pada hari Selasa, 17 Oktober 2023 pagi yang seperti biasa mulai dilaksanakan tidak tepat waktu dengan alasan klise belum memenuhi kuorum, harap dimaklumi.
Penulis memandang bahwa upaya pengesahan Ranperda PDRD menjadi Perda PDRD ini sederhananya adalah sebuah upaya jalan pintas Pemerintah Kabupaten Tanah Datar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor pajak dan retribusi tanpa perlu susah susah membuka / menambah objek PAD baru.
Alih alih ditantang untuk mencari dan membuka sumber objek pajak baru dan sumber objek retribusi baru, maka lebih praktis ambil jalan pintas dengan cara menaikan nilai tarif pajak dan tarif retribusi yang sudah ada.
Kira kira bahasa lainnya adalah bagaimana caranya bisa mengambil uang rakyat yang dilegalkan untuk membiayai belanja operasional pemerintah daerah dan DPRD Tanah Datar berbalut dalam rangka mendukung kemandirian daerah dalam pengelolaan keuangan daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah serta memberi kepastian hukum dan rasa keadilan dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
“Dimano letak rasa keadilannyo Pak jiko pajak yang dibayarkan / retribusi yang dikenakan justru lebih tinggi dari sebelumnya?” gumam Wan Labai tak habis pikir.
Adilkah rasanya jika pajak dan retribusi yang dipungut untuk membiayai kegiatan kegiatan yang mungkin mubazir seperti jalan jalan berbalut study tiru atau mengadakan kegiatan pembahasan Ranperda diadakan diluar daerah? Tanpa ada upaya yang jelas untuk PENGHEMATAN / EFISIENSI KEUANGAN dari Pimpinan Daerah dan Pimpinan DPRD Tanah Datar? Adilkah rasanya jika nilai pajak dan retribusi dinaikkan tapi tidak dibarengi dengan kualitas pelayanan publik yang lebih baik?
Sementara itu, pernahkah diterapkan di lingkup Pemkab Tanah Datar di era kepemimpinan Eka Putra, SE, MM selama ini dan di lingkup DPRD Tanah Datar di era kepemimpinan Rony Mulyadi, SE Dt. Bungsu ini semacam instruksi / kebijakan efisiensi keuangan untuk menekan pemborosan di bidang listrik, efisiensi BBM, efisiensi alat tulis kantor, efisiensi SPJ keluar kota, dll? Dan kalaupun ada, pernahkah dievaluasi berapa persen keberhasilan menekan pemborosan keuangan daerah? Sementara kualitas layanan publik oleh Eksekutif dan Legislatif belum terlihat perubahan yang signifikan. Lihat saja penerapan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik masih bisa dinilai dilakukan setengah hati. Apalagi tentang realisasi reformasi birokrasi yang bisa dinilai sekedar lips service semata.
Mengapa demikian? Karena pajak dan retribusi berpengaruh simultan terhadap PAD. Ini dibuktikan melalui penelitian Dety Lafera (2020) yang dimuat di Journal of Economics and Social Research, Vol 2. No.1. 2020. Setelah pajak dinaikan, nanti di LKPj Bupati dilaporkan kepada masyarakat bahwa PAD meningkat signifikan. Hadirin tepuk tangan. Hahahaha.
Agaknya Perda ini harus menjadi atensi para pemerhati hukum, khususnya para aktivis hukum dan kaum akademisi (dosen dan mahasiswa) untuk menelaah lebih dalam tentang muatan / substansi Perda PDRD tersebut, karena di dalam kerangka Perda PDRD tersebut terdapat Ketentuan tentang Penyidikan (BAB VIII) dan Ketentuan Pidana (BAB IX).
Publik belum tahu apakah nanti Perda tersebut memberi kewenangan kepada instrumen daerah untuk melakukan penyidikan dan menjatuhkan sanksi pidana kepada wajib pajak perseorangan / badan? Wallahualam. Kalau penyidikan dan sanksi pidana ini dikenakan kepada wajib pajak, apakah relevan dengan ucapan Bupati Eka Putra, SE, MM pada penghujung sambutan Pendapat Akhir Bupati Tanah Datar Terhadap Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang dikutip sebagai berikut: “Kami selaku Kepala Daerah bersama Wakil Bupati, dan tentunya bersama DPRD bertekad memberi yang terbaik bagi kepentingan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tanah Datar yang merata dan berkeadilan”. Bagaimana bisa sejahtera jika wajib pajaknya dikenakan sanksi pidana?
Sekarang mari kita kutip Laporan Hasil Pembicaraan Tingkat I Pansus III DPRD Kabupaten Tanah Datar Dalam Pembahasan Ranperda Tentang PDRD, yang menyebutkan: Dalam pasal 8 ditambahkan 1 ayat setelah ayat (8) menjadi ayat (9) yang berbunyi “(9) Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang mempertimbangkan kenaikan NJOP hasil penilaian ditetapkan paling tinggi 50%” sehingga ayat (9) lama menjadi ayat (10) dan seterusnya”.
Bahasa yang bisa penulis maknai dari narasi diatas adalah bahwa akan ada perubahan kenaikan tarif pajak yang terkait dengan perubahan tarif kenaikan NJOP yang ditetapkan paling tinggi 50%. Makna lainnya adalah dibolehkan menaikan tarif dengan variable prosentase kenaikan tarif pajak atas kenaikan NJOP hasil penilaian hanya boleh paling tinggi 50% saja.
Ilustrasi yang bisa disampaikan kira kira sebagai berikut, jika sebelumnya seorang pemilik rumah / toko membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sekitar 100 ribu pertahun, maka jika ditetapkan tarif baru (ditambah 50% dari tarif lama), maka nanti si wajib pajak yang akan bayar PBB barunya ada di angka 150 ribu.
Lumayan juga penetapan perubahan tarif baru tersebut jika jadi diberlakukan nantinya.
Oleh karena itu, perlu kiranya segenap elemen publik, khususnya segenap aktivis hukum, sosial dan politik serta kaum akademisi untuk peduli kepada politik, karena sejatinya produk hukum berupa Perda yang disetujui DPRD ini adalah produk politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Contoh sederhana, begitu tarif NJOP dinaikkan, akan berpengaruh kepada kenaikan harga sewa rumah kost / kamar kost / kontrak toko, dll. Berpengaruh juga kepada harga sewa kedai di Pasar Pasar Serikat, berpengaruh juga kepada nilai transaksi jual beli rumah di notaris, dll. Juga akan berpengaruh kepada kenaikan Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Perizinan, dll.
Dikutip dari sumber ITS Online, Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, dramawan, sutradara teater dan Marxis pernah mengatakan: “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung keputusan politik.
Orang yang buta bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Di penghujung tulisan ini, Wan Labai pun bergumam, jika hanya mampu menaikan tarif Pajak dan Retribusi tanpa mampu menambah objek pajak baru dan menambah objek retribusi baru, maka perlu adanya gagasan dan terobosan baru yang bisa ditawarkan oleh calon pemimpin daerah baru th 2024 dan calon anggota legislatif baru th 2024 yang lebih segar dan lebih kompeten.
Atau mungkinkah kenaikan Pajak dan Retribusi ini merupakan “skenario” politik untuk “menjebak” bupati sehingga memunculkan image yang kurang baik karena manaikkan pajak dan retribusi besar besaran? Sebab, biasanya, kalau pajak naik, masyarakat ribut, pemimpin disalahkan. Wallahu alam. (*)