Oleh: Ahmad Rizal Caniago (Akademisi dan Peneliti)
Alek Pemilihan Wali Nagari (Pilwana) di 54 Nagari di Kabupaten Tanah Datar baru saja selesai digelar pada Selasa, 26 September 2023. Secara umum Pilwana dapat dikatakan lancar tetapi belum tentu sukses. Yang jelas tidak ada konflik besar yang muncul karena Pilwana kecuali gesekan gesekan kecil saja. Api padam, puntuang anyuik. Begitu pepatah Minang mengatakan.
Namun dari berbagai informasi yang dikumpulkan, kejadian yang diamati, proses yang terjadi serta fakta di lapangan, Pilwana th 2023 ini meninggalkan cerita suka dan duka, baik bagi calon, bagi tim sukses, bagi masyarakat, bagi penyelenggara dan tentunya bagi pemerhati dan pengamat. Ada beberapa hal menarik yang perlu disimak.
Pertama, incumbent atau petahana wali nagari yang ikut berlaga kembali banyak yang tagolek atau kalah. Bahkan ada incumbent yang hanya memperoleh suara sekitar 150an saja. Jatuh ke titik nadir. Jatuah tapai dalam istilah masyarakat. Pertanda apa? Tentu pertanda bahwa masyarakat ingin perubahan terhadap wali nagari. Incumbent dianggap sudah tak kompeten. Mungkin selama menjabat kurang adil dalam berbagi, kurang inovatif, kurang komunikasi, kurang berhasil, dan serba kekurangan lainnya. Misalnya, incumbent yang kalah terjadi di kecamatan Salimpaung, Pariangan, Lintau Buo, dll.
Kedua, masih banyak pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih. Banyak masyarakat yang berteriak tidak terdaftar sebagai pemilih sehingga mereka tidak datang ke TPS. Hal ini tentu disebabkan oleh kurang update nya data pemilih. Ini besar kemungkinan kesalahan penyelenggara dan aparatur pemerintah yang bertugas menghimpun data pemilih. Mungkin saja data terbaru di KPU sudah ada, tetapi tidak dipakai.
Ketiga, kurang partisipasi pemilih. Kurangnya partisipasi pemilih pada Pilwana menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat dalam memilih pemimpin masih rendah. Mereka belum memaknai bahwa memilih pemimpin itu kewajiban sebagai warga negara. Ada pula yang tidak datang memilih karena TPS nya jauh. Adapula yang tidak ikut memilih karena tidak libur bekerja. Bahkan ada pula yang benar benar tidak tahu bahwa Pilwana sedang digelar. Dan ada pula yang sakit.
Keempat, kurang koordinasi antara penyelenggara di tingkat bawah sampai ke atas. Kurangnya komunikasi menyebabkan kesalahpahaman. Aturan yang sudah ada menjadi multi tafsir. Panitia ada yang mengambil kebijakan sendiri walau tidak sesuai aturan. Situasi di lapangan dibiarkan begitu saja. Yang penting selesai. Sesuai atau tidak sesuai dengan aturan adalah persoalan lain. Yang penting masyarakat tidak ribut. Itu sajalah!
Kelima, kurang biaya. Buktinya? Masih banyak kekurangan disana sini karena ketiadaan biaya. Anggaran Pilwana tentu disusun berdasarkan kebutuhan real berdasarkan pengalaman dan aturan. Tetapi mungkin saja karena ketidakcukupan dana di daerah, terpaksa ada item yang dikurangi bahkan dihapus. Panitia dipaksa survive dengan anggaran yang sudah tersedia. Cukup tak cukup, dicukupkan saja.
Keenam, kecurangan. Dari informasi yang dikumpulkan masih ada beberapa kecurangan yang terjadi. Misalnya, masih ada pemilih yang melakukan pemilihan lebih dari sekali. Adapula pemilih yang tidak sesuai dengan daftar pemilih tetapi masih bisa juga memilih. Tetapi syukurnya, tidak ditemukan kecurangan dalam penghitungan suara sehingga semua pihak yang kalah bisa juga menerima kekalahan mereka walaupun mungkin dicurangi ketika proses pemungutan suara.
Ketujuh, keterlibatan partai politik, caleg dan penguasa. Pilwana menarik minat partai, caleg dan penguasa untuk ikut andil di dalamnya. Sebab, tak lama lagi pesta demokrasi akan digelar (Februari 2024), tentu harus dibangun jaringan dari sekarang. Wali nagari yang disponsori atau dibantu, diharapkan nanti dapat membantu suara caleg pada Pileg nanti. Keterlibatan politisi dalam Pilwana berupa dukungan logistik, tim sukses, saksi saksi dan arahan dari politisi yang berpengalaman. Bahkan kabarnya, ada pula penguasa yang sengaja mempromosikan jagoannya dengan berbagai cara agar dipilih masyarakat. Ada yang laku, ada pula yang keok. Itulah realitas.
Kesimpulannya, kita sedang belajar berdemokrasi dalam Pilwana. Apapun yang terjadi, itulah kualitas demokrasi kita. Jika masih banyak kekurangan, kita perbaiki di masa depan. Namun jika Pilwana tidak cocok lagi dengan metode pemilihan langsung, kita kembalikan ke cara lama. Musyawarah mufakat saja untuk menentukan wali nagari. Tak perlu banyak biaya yang menguras kantong calon dan menguras APBD. Tak perlu spanduk. Tak perlu tim sukses. Tidak perlu kampanye. Toh, leluhur kita sudah melakukan itu berpuluh tahun yang lalu. (*)